Benarkah Banyak Guru Tak Mengenali Siswanya?
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Ketua PGRI Kota Sukabumi DR (Cand) Sanusi Harjadireja menyatakan, guru pada umumnya hanya mengenal dua siswa. Satu siswa yang paling pintar dan satunya lagi yang paling nakal. Kecuali guru muda laki-laki ditambah satu lagi yakni siswa yang paling cantik. Ini sebuah ungkapan jocke auto kritik pada profesi keguruan. Apa yang diungkapakan DR (Cand) Sanusi Harjadireja menjelaskan bahwa para guru mayoritas memiliki kelemahan dalam kompetensi paedagogik.
Kelemahan kompetensi paedagogik (mengenali peserta didik) akan berdampak negatif pada proses keberhasilan pendidikan secara mikro dan makro. Mengenali peserta didik menjadi sebuah tugas utama sebelum tuntutan kompetensi guru yang lainnya. Bukankah sejak PPDB dan MOPD adalah sebuah “administrasi” awal untuk mengenali mengetahui para peserta didik? Bukankah sebelum pembelajar di satuan pendidikan dimulai antara guru dan peserta didik harus saling mengenal? Setelah pendidik dan peserta didik saling mengenal baru kemudian mengenali disiplin pengetahuan yang akan diikuti.
Ada sebuah pengalaman yang masih hangat dalam memori penulis, ketika membuka dokumen rahasia guru-guru di Banksia Park International High School di Adelaide, Australia Selatan. Ditemukan prioritas pertama mereka (guru-guru Australia) adalah “Mengenali/memahami siswa dan bagaimana cara mereka belajar (know students and how they learn), dokumen ini menjelaskan bahwa mengenali peserta didik dan mengetahui cara mereka belajar adalah skala prioritas pendidikan di Australia. Dari 7 standar guru profesional di Australia yang paling pertama adalah mengenali dulu peserta didik dengan baik. Ternyata kompetensi profesional guru (Know the content and how to teach it) berada pada urutan kedua.
Untuk mengenali perserta didik dan bagaimana mereka belajar di Australia dikembangkan metode administrasi yang cukup baik yakni adanya buku harian peserta didik. Buku ini dapat diaplikasi di satuan pendidikan kita. Buku ini dikenal dengan nama Student Diary. Dalam buku ini identitas peserta didik dibuat secara rinci bahkan berbagai informasi kesehariannya tertulis dengan baik serta harus dibawa peserta didik setiap hari. Identitas, mentalitas dan progresifitas belajar peserta didik tertera dalam buku ini.
Dalam buku Student Diary ini juga tertera kolom kontrol orangtua dan wali kelas yang harus ditandatangani keduanya setiap hari. Progresifitas belajar dan dinamika kegiatan harian peserta didik dapat dikontrol oleh orangtua dan guru wali kelas. Dalam Student Diary tertulis pula berbagai informasi sekolah. Mulai dari peta ruang-ruang sekolah dan bagaimana menyelamatkan diri ketika ada bencana, visi misi sekolah, nama dan kualifikasi guru-guru, waktu pembelajaran, administrasi pembayaran biaya sekolah, ektrakurikuler dll.
Dokumen Student Diary ini menjadi alat bantu semua pihak terutama peserta didik, guru dan orangtua. Dengan adanya Student Diary ini dimungkinkan akan terjadi komunikasi yang harmonis antara tiga pihak yang paling berkepentingan yakni siswa, guru dan orangtua, mereka dapat bersama-sama ikut mengontrolnya. Terutama bagi para guru, Student Diary ini menjadi sebuah media untuk meminimize kelemahan paedagogik para guru ditengah jumlah peserta didik yang banyak dan berganti setiap tahun.
Jangan sampai terjadi ada peserta didik yang menangis karena wali kelas tak mengenalinya saat bertemu di luar sekolah dan jangan sampai terjadi proses wisuda peserta didik identik dengan wisuda peserta didik yang tak dikenali. Ketika peserta didik tak dikenali oleh para pendidik dan para peserta didik tidak dekat dengan gurunya maka satuan pendidikan akan berubah menjadi satuan “industri pendidikan” yang mencetak manusia robot yang tidak memiliki hati nurani. Ijazah dicetak bukan untuk siswa yang tak dikenali melainkan dicetak untuk generasi cerdas yang sangat dikenali.
Bila para guru lemah dalam kompetensi paedagogik dan hanya mengenali siswa pintar, siswa nakal dan siswa cantik saja maka setiap tahun ada ribuan siswa yang diwisuda dan mendapatkan ijazah tetapi tak dikenali. Bila para peserta didik dan tenaga pendidik tidak ada ikatan emosional (saling mengenal) maka dimungkinkan mereka akan menjadi manusia minim ikatan emosional dengan manusia lainnya.
Budaya tak saling mengenal dan tak saling mencintai yang tak hadir di satuan pendidikan akan melahirkan calon-calon masyarakat apatis dan intoleran dalam memahami dinamika sosial. Sebaiknya pemerintah, masyarakat dan civitas akademika harus menyadari bahwa apa yang terjadi diruang-ruang kelas akan berdampak dengan apa yang terjadi diruang-ruang publik.
Guru adalah social engginer. Guru adalah perekayasa masyarakat prakteknya dapat diawali dengan sangat mengenali peserta didiknya karena kelak kemudian mereka akan menjadi warga masyarakat. Jangan sampai peserta didik sangat dikenali oleh para seniornya dan para alumninya yang sebagian kecilnya dapat mendestruksi mental generasi pelajar. Terutama satuan pendidikan yang rawan tawuran, guru harus lebih dekat melekat dibanding senior dan alumninya.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Ketua PGRI Kota Sukabumi DR (Cand) Sanusi Harjadireja menyatakan, guru pada umumnya hanya mengenal dua siswa. Satu siswa yang paling pintar dan satunya lagi yang paling nakal. Kecuali guru muda laki-laki ditambah satu lagi yakni siswa yang paling cantik. Ini sebuah ungkapan jocke auto kritik pada profesi keguruan. Apa yang diungkapakan DR (Cand) Sanusi Harjadireja menjelaskan bahwa para guru mayoritas memiliki kelemahan dalam kompetensi paedagogik.
Kelemahan kompetensi paedagogik (mengenali peserta didik) akan berdampak negatif pada proses keberhasilan pendidikan secara mikro dan makro. Mengenali peserta didik menjadi sebuah tugas utama sebelum tuntutan kompetensi guru yang lainnya. Bukankah sejak PPDB dan MOPD adalah sebuah “administrasi” awal untuk mengenali mengetahui para peserta didik? Bukankah sebelum pembelajar di satuan pendidikan dimulai antara guru dan peserta didik harus saling mengenal? Setelah pendidik dan peserta didik saling mengenal baru kemudian mengenali disiplin pengetahuan yang akan diikuti.
Ada sebuah pengalaman yang masih hangat dalam memori penulis, ketika membuka dokumen rahasia guru-guru di Banksia Park International High School di Adelaide, Australia Selatan. Ditemukan prioritas pertama mereka (guru-guru Australia) adalah “Mengenali/memahami siswa dan bagaimana cara mereka belajar (know students and how they learn), dokumen ini menjelaskan bahwa mengenali peserta didik dan mengetahui cara mereka belajar adalah skala prioritas pendidikan di Australia. Dari 7 standar guru profesional di Australia yang paling pertama adalah mengenali dulu peserta didik dengan baik. Ternyata kompetensi profesional guru (Know the content and how to teach it) berada pada urutan kedua.
Untuk mengenali perserta didik dan bagaimana mereka belajar di Australia dikembangkan metode administrasi yang cukup baik yakni adanya buku harian peserta didik. Buku ini dapat diaplikasi di satuan pendidikan kita. Buku ini dikenal dengan nama Student Diary. Dalam buku ini identitas peserta didik dibuat secara rinci bahkan berbagai informasi kesehariannya tertulis dengan baik serta harus dibawa peserta didik setiap hari. Identitas, mentalitas dan progresifitas belajar peserta didik tertera dalam buku ini.
Dalam buku Student Diary ini juga tertera kolom kontrol orangtua dan wali kelas yang harus ditandatangani keduanya setiap hari. Progresifitas belajar dan dinamika kegiatan harian peserta didik dapat dikontrol oleh orangtua dan guru wali kelas. Dalam Student Diary tertulis pula berbagai informasi sekolah. Mulai dari peta ruang-ruang sekolah dan bagaimana menyelamatkan diri ketika ada bencana, visi misi sekolah, nama dan kualifikasi guru-guru, waktu pembelajaran, administrasi pembayaran biaya sekolah, ektrakurikuler dll.
Dokumen Student Diary ini menjadi alat bantu semua pihak terutama peserta didik, guru dan orangtua. Dengan adanya Student Diary ini dimungkinkan akan terjadi komunikasi yang harmonis antara tiga pihak yang paling berkepentingan yakni siswa, guru dan orangtua, mereka dapat bersama-sama ikut mengontrolnya. Terutama bagi para guru, Student Diary ini menjadi sebuah media untuk meminimize kelemahan paedagogik para guru ditengah jumlah peserta didik yang banyak dan berganti setiap tahun.
Jangan sampai terjadi ada peserta didik yang menangis karena wali kelas tak mengenalinya saat bertemu di luar sekolah dan jangan sampai terjadi proses wisuda peserta didik identik dengan wisuda peserta didik yang tak dikenali. Ketika peserta didik tak dikenali oleh para pendidik dan para peserta didik tidak dekat dengan gurunya maka satuan pendidikan akan berubah menjadi satuan “industri pendidikan” yang mencetak manusia robot yang tidak memiliki hati nurani. Ijazah dicetak bukan untuk siswa yang tak dikenali melainkan dicetak untuk generasi cerdas yang sangat dikenali.
Bila para guru lemah dalam kompetensi paedagogik dan hanya mengenali siswa pintar, siswa nakal dan siswa cantik saja maka setiap tahun ada ribuan siswa yang diwisuda dan mendapatkan ijazah tetapi tak dikenali. Bila para peserta didik dan tenaga pendidik tidak ada ikatan emosional (saling mengenal) maka dimungkinkan mereka akan menjadi manusia minim ikatan emosional dengan manusia lainnya.
Budaya tak saling mengenal dan tak saling mencintai yang tak hadir di satuan pendidikan akan melahirkan calon-calon masyarakat apatis dan intoleran dalam memahami dinamika sosial. Sebaiknya pemerintah, masyarakat dan civitas akademika harus menyadari bahwa apa yang terjadi diruang-ruang kelas akan berdampak dengan apa yang terjadi diruang-ruang publik.
Guru adalah social engginer. Guru adalah perekayasa masyarakat prakteknya dapat diawali dengan sangat mengenali peserta didiknya karena kelak kemudian mereka akan menjadi warga masyarakat. Jangan sampai peserta didik sangat dikenali oleh para seniornya dan para alumninya yang sebagian kecilnya dapat mendestruksi mental generasi pelajar. Terutama satuan pendidikan yang rawan tawuran, guru harus lebih dekat melekat dibanding senior dan alumninya.
0 comments:
Post a Comment