Pendidikan Inklusif Deteksi Gejala Paedofilia
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Wakil Kepala SMAN 1 Kota Sukabumi)
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menghantarkan peserta didik menjadi penghuni masa depan yang gemilang. Pendidikan juga harus mampu menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang sedang terjadi. Bila pendidikan tidak mampu menyampaikan pengetahuan yang akan dipakai peserta didik pada masa depan dan tidak mengupas dinamika kekinian maka pendidikan dapat dianggap gagal.
Akhir-akhir ini media informasi kita __elektronik, cetak ataupun maya__dihebohkan oleh kasus JIS di Jakarta dan AS alias Emon di Kota Sukabumi. Kasusnya adalah fenomena Paedofilia. Menurut hemat penulis dunia pendidikan kita tidak cukup informasi tentang seputar Paedofilia yang dapat guru sampaikan pada peserta didik.
Sebaiknya para guru dalam proses belajar mengajar (PBM) harus cerdas menjelaskan fenomena sosial yang kemungkinan dapat terjadi disekitar peserta didiknya. Bila informasi dari guru dapat disampaikan dengan baik maka bentuk-bentuk kenakalan remaja (juvenile delinquence) dan korban Paedofilia dapat diminimalisir.
Dengan pengetahuan guru yang baik dan dapat difahami peserta didik saat menyampaikannya maka dapat meminimalisir peserta didik menjadi korban. Bahkan menghindari peserta didik kelak menjadi pelaku. Bukankah As alias Emon dia lulus SMP dan SMK? Ia sebenarnya telah mengikuti pendidikan formal 12 tahun sebelum Ia bekerja. Dimanakah jejak sukses proses formal pendidikan pada pribadi Emon yang dianggap (kini) ada kelainan?
Berdasarkan wawancara penulis dengan mantan guru AS alias Emon, seorang mantan gurunya menyatakan AS alias Emon sebenarnya masuk pada kategori siswa inklusif. Ia memiliki perbedaan dengan peserta didik lainnya. Ia jujur, mudah disuruh, tidak suka bolos namun ia mudah terpengaruh dan sangat lugu. Saat Emon belajar di__SMP dan SMK__ Ia belum mendapatkan pelayanan pendidikan inklusif sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK).
Pentingnya satuan pendidikan melakukan pelayanan inklusif menjadi tuntutan akhir-akhir ini dimana anak yang memiliki kebutuhan (kelainan) khusus dapat dilayani dengan baik di satuan pendidikan umum yang sudah tersertifikasi (legal) inklusif. Peserta didik semuanya berbeda dengan potensi masing-masing namun peserta didik yang dianggap inklusif diantaranya memiliki ciri; (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat, Doll dalam Efendi (2006:89).
Guru-guru yang mendapatkan pembekalan pendidikan inklusif di satuan pendidikan bertanggungjawab dalam mendeteksi, melayani intelektualitas, mentalitas dan kebutuhan khususnya. Dengan adanya pelayanan pendidikan yang baik maka semua peserta didik dengan segala kelebihan dan kekurangannya dapat diarahkan (diinspirasi) untuk menemukan potensi dirinya. Hal ini harus dilakukan agar semua peserta didik tidak terjebak dalam potensi karakter destruktifnya, menjadi pelaku (kelak) atau korban dari perilaku paedofilia.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Wakil Kepala SMAN 1 Kota Sukabumi)
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menghantarkan peserta didik menjadi penghuni masa depan yang gemilang. Pendidikan juga harus mampu menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang sedang terjadi. Bila pendidikan tidak mampu menyampaikan pengetahuan yang akan dipakai peserta didik pada masa depan dan tidak mengupas dinamika kekinian maka pendidikan dapat dianggap gagal.
Akhir-akhir ini media informasi kita __elektronik, cetak ataupun maya__dihebohkan oleh kasus JIS di Jakarta dan AS alias Emon di Kota Sukabumi. Kasusnya adalah fenomena Paedofilia. Menurut hemat penulis dunia pendidikan kita tidak cukup informasi tentang seputar Paedofilia yang dapat guru sampaikan pada peserta didik.
Sebaiknya para guru dalam proses belajar mengajar (PBM) harus cerdas menjelaskan fenomena sosial yang kemungkinan dapat terjadi disekitar peserta didiknya. Bila informasi dari guru dapat disampaikan dengan baik maka bentuk-bentuk kenakalan remaja (juvenile delinquence) dan korban Paedofilia dapat diminimalisir.
Dengan pengetahuan guru yang baik dan dapat difahami peserta didik saat menyampaikannya maka dapat meminimalisir peserta didik menjadi korban. Bahkan menghindari peserta didik kelak menjadi pelaku. Bukankah As alias Emon dia lulus SMP dan SMK? Ia sebenarnya telah mengikuti pendidikan formal 12 tahun sebelum Ia bekerja. Dimanakah jejak sukses proses formal pendidikan pada pribadi Emon yang dianggap (kini) ada kelainan?
Berdasarkan wawancara penulis dengan mantan guru AS alias Emon, seorang mantan gurunya menyatakan AS alias Emon sebenarnya masuk pada kategori siswa inklusif. Ia memiliki perbedaan dengan peserta didik lainnya. Ia jujur, mudah disuruh, tidak suka bolos namun ia mudah terpengaruh dan sangat lugu. Saat Emon belajar di__SMP dan SMK__ Ia belum mendapatkan pelayanan pendidikan inklusif sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK).
Pentingnya satuan pendidikan melakukan pelayanan inklusif menjadi tuntutan akhir-akhir ini dimana anak yang memiliki kebutuhan (kelainan) khusus dapat dilayani dengan baik di satuan pendidikan umum yang sudah tersertifikasi (legal) inklusif. Peserta didik semuanya berbeda dengan potensi masing-masing namun peserta didik yang dianggap inklusif diantaranya memiliki ciri; (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat, Doll dalam Efendi (2006:89).
Guru-guru yang mendapatkan pembekalan pendidikan inklusif di satuan pendidikan bertanggungjawab dalam mendeteksi, melayani intelektualitas, mentalitas dan kebutuhan khususnya. Dengan adanya pelayanan pendidikan yang baik maka semua peserta didik dengan segala kelebihan dan kekurangannya dapat diarahkan (diinspirasi) untuk menemukan potensi dirinya. Hal ini harus dilakukan agar semua peserta didik tidak terjebak dalam potensi karakter destruktifnya, menjadi pelaku (kelak) atau korban dari perilaku paedofilia.
0 comments:
Post a Comment