Home » » Jangan “Memanjakan” Anak

Jangan “Memanjakan” Anak

Written By Amin Herwansyah on Wednesday, August 13, 2014 | 12:16 AM

Jangan “Memanjakan” Anak

Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Pemerhati Pendidikan)

Walikota Sukabumi Mohamad Muraz dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan adalah dua “anak” yang memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang sangat baik. Pola didik keluarganya jauh dari polarisasi memanjakan anak. Orangtua mereka tidak mengalah terhadap keinginan emosional anak tetapi menggiring anak untuk bertumbuh mandiri. Orangtua mereka cenderung  “membebani” anaknya agar berkarakter. Orangtua mereka memahami  bahwa karakter menentukan nasibnya kelak.

Bukankah Walikota Sukabumi Mohamad Muraz dulunya adalah anak SD yang bertani dan beternak 40 ekor ayam serta sejumlah domba?  Bukankah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan  dulunya adalah anak yang menjual gorengan sejak SD? Bukankah Menteri BUMN Dahlan Iskan dulunya sangat miskin rumahnyapun berlantai tanah? Dahlan Iskan, Ahmad Heryawan dan Mohamad Muraz adalah  contoh diantara produk dari pendidikan keluarga yang baik.  Sungguh ini sebuah pembelajaran pada semua orang tua dan para guru untuk memberikan sebuah pengalaman/pendidikan  terbaik pada anak dan peserta didiknya.

Keterbatasan ekonomi keluarga bukan halangan terberat. Keterbatasan kemampuan mendidik anaklah yang menentukan masa depan anak. Kesuksesan orangtua dalam mendidik anak menjadi penentu yang dominan bagaimana masa depan anak. Pendidikan keluargalah yang akan menjadi penentu  seorang anak sukses atau  menjadi pecundang kelak. Kedua orangtua dalam keluarga adalah “tangan emas” dalam membentuk anak yang hebat.
Prof. Amy Chua  dalam bukunya “Battle Hymn of the Tiger Mother” menjelaskan pentingnya orangtua mendidik anak dengan penuh kedisiplinan dan membolehkan lebih keras dibanding memanjakannya.

Pendidikan yang memanjakan akan membuat seorang anak menjadi chicken lilte bukan tiger yang kuat. Generasi yang kuat, hebat dan berpengaruh tidak dibidani dari polarisasi pendidikan keluarga yang penuh dengan nuansa memanjakan. Perlu polarisasi yang mendewasakan dan memandirikan.  Orangtua harus mengantarkan  setiap anaknya menuju  “be your self”. Jadi diri sendiri yang mandiri dan mampu mengeksplorasi potensi diri yang Tuhan berikan pada setiap diri.

Pentingnya pendidikan yang memandirikan anak agar Ia survival dalam menjalani kehidupan. Bukan memanjakan dan meluluskan semua keinginan anak atas dasar sayang dan kasihan yang membuat seorang anak sukses dikemudian hari. Melainkan sebuah polarisasi pendidikan yang menstimulus potensi kemandirian, ketahanmalangan (adversity) anaklah yang jauh lebih baik. Penanaman prinsip dan falsafah luhur dari orangtua akan menjadi ruh perilaku seorang anak.  Pengalaman “kebawah” yang akan membuat seorang anak akan menjadi sosok yang sukses “keatas”.

Pengalaman hidup prihatin bagi anak yang potensial akan menjadi sebuah fondasi mental. Dendam positif terhadap realitas yang penuh keterbatasan akan dapat dibangun berkat bantuan pendidikan orangtua yang baik. Berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang berat akan menjadikan seseorang teruji dan terbentuk menjadi pribadi tangguh. Banyaknya anak yang  dimanjakan oleh orangtua akan menambah jumlah orang-orang gagal dikemudian hari.

Sebaiknya para orangtua  untuk lebih mempersiapkan mental anak agar kelak dikemudian hari mampu menjadi tokoh publik yang bermanfaat atau minimal menjadi pribadi mandiri dan  produktif. Terutama orangtua yang kaya raya dengan fasilitas serba ada,  sebenarnya lebih berpelung untuk mencetak generasi hebat.  Bukan sebalikny mendidik serba boleh demi kasih sayang yang hilang karena orangtua sibuk tak punya waktu.

Mendidik anak sejak dini dengan baik sama dengan investasi pada keberlangsungan keluarga. Hebatnya sebuah keluarga besar ditentukan oleh hebatnya pendidikan anak-anaknya. Kita yang mayoritas muslim tertinggal jauh beberapa langkah dibanding orang China, Yahudi, Nasrani dll. Mereka banyak yang cerdas dalam mendidik dan membesarkan anak.

Kelemahan dalam mendidik anak sebenarnya secara tidak langsung telah ikut “membangun” runtuhya  negeri ini. Bukankah tahun generasi emas 2045 nanti ditentukan para orangtua dan guru pada hari ini?
Muhammad kecil yang kelak menjadi nabi akhir zaman, masa kecilnya penuh dengan pengalaman berharga. Ia menggembala dan berdagang. Kemampuan menggembala dan berdagang serta kejujuran dalam kesehariannya menyebabkan Ia mendapat julukan sosial Al Amin. Ini sebuah sebutan bagi seorang anak (pribadi) yang jauh dari manja dan dimanjakan orangtua. Padahal Muhammad kecil adalah keturunan bangsawan dan terhormat.

Pendidikan yang buruk pada anak sama dengan mempersiapakan generasi yang gagal dan menjadi beban bagi orang lain. Sungguh indah bila semua orangtua diakhir hidupnya mampu menyaksikan kesuksesan anaknya menjadi orang penting dan bermanfaat bagi masyarakat. Beruntunglah para orangtua yang mampu mendidik anak dengan baik karena kebermanfaatan seorang anak adala

Kesuksesan orangtua yang terpenting adalah “mencetak” anak yang hebat, mandiri, cerdas dan bermanfaat bagi sekalian alam (rahmatan lil’alamin). Mari para orangtua untuk belajar menyukseskan  masa depan anak dengan memandirikannya pada hari ini. Mari para orangtua untuk membangun fondasi mental dan keterampilan anak dengan pendidikan yang baik.  Setiap bangunan yang tinggi pasti memiliki fondasi yang dalam. Setiap pribadi sukses pasti memiliki pengalaman yang  luar biasa “dalam”.



Share this article :

0 comments:

Post a Comment






 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PGRI Kecamatan Citamiang Kota Sukabumi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger