Berprestasi Dalam Kutukan Sejarah
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Pemerhati Pendidikan
Penulis merasa lebih cerdas dibanding menteri pendidikan dan kebudayaan. Mengapa demikian? Karena penulis melihat dari kompetisi peserta didik yang diadakan dari tahun ke tahun dibawah wewenang menteri pendidikan sejenis olimpiade (OSN, O2SN, FLS2N dll) tidak melibatkan mata pelajaran sejarah untuk jenjang SMA atau sederajat. Ini sebuah kesalahan yang dianggap sederhana tapi fatal dalam pandangan penulis.
Ketika penulis berjabat tangan dengan Menteri Pendidikan M. Nuh di Jakarta pada tahun 2013 dalam acara seminar nasional, penulis menanyakan mengapa olimpiade sejarah tidak diadakan? Ia menjawab, “silahkan di gagas di daerah”. Jawaban yang kurang memuaskan. Penulis yakin menteri pendidikan bukan tidak pintar tetapi mungkin karena “riweuh” dalam mengurus kompleksitas dunia pendidikan Indonesia. Beliau nampaknya lupa skala prioritas.
Ketika OSN diadakan di Bandung tahun 2013 dengan meriah dan melibatkan 3600 peserta didik dari seluruh Indonesia. Kelihatannya memang luar biasa. Namun menurut penulis olimpiade sains yang diadakan tanpa melombakan mata pelajaran sejarah sama dengan membangun masyarakat cerdas tanpa memerlukan identitas. Membangun masyarakat berprestasi tanpa identitas. Ini berbahaya, apalagi diera hedon dan globalisasi sekarang ini.
Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan berkumpul orang-orang berprestasi cerdas dan luar biasa tapi lupa identitas bangsanya. Mereka akan berkumpul di istana negara, gedung DPR, jajaran menteri dan para jenderal. Mereka adalah para mantan pemenang olimpiade. Orang-orang cerdas dan berprestasi akan memiliki karir yang baik, walau tak mengerti sejarah bangsanya, karena tidak ada pengalaman lomba yang memperdalam kesejarahan.
Akan lahir genersai cerdas yang ingatan sainsnya baik tapi amnesia pada sejarah bangsanya. Lupa akan kepedihan perjuangan para pahlawan dalam membangun bangsa ini. Lupa akan pesan founding father tentang “jas merah”. Jangan sekali-kali melupakan sejarah karena melupakan sejarah masa lalu sama dengan melupakan orangtua sendiri. Orang atau bangsa yang melupakan orangtua adalah pribadi dan bangsa Malin Kundang.
Pelajaran sejarah memiliki pesan luhur pada manusia agar Ia benar benar menjadi manusia dengan mempelajari siapa manusia itu sebenarnya. Dalam sejarah mengupas ilmu tentang perilaku manusia. Ilmu sejarah adalah ilmu tentang karakter manusia. Ilmu tentang rahasia manusia, kolektif, kelompok atau personal. “Rahasia” dan identitas manusia ada dalam sejarah manusia itu sendiri.
Kitab suci dan para nabi adalah realitas sejarah. Kitab suci dan para nabi selalu mengajarkan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Manusia adalah mahluk tiga dimensi dan sejarah mengajarkan itu. Bila manusia hanya belajar sains saja tidak menutup kemungkinan akan terlahir mentalitas pragmatis. Masa kini saja, hari ini saja, yang penting berprestasi hari ini tidak peduli pada masa lalu dan masa depan.
Tidak ada peradaban besar dengan melupakan sejarah masa lalunya. Bahkan mengapa bangsa Yahudi begitu kuat walau jumlahnya sangat sedikit. Jawabannya karena mereka mengagungkan sejarahnya dan bila perlu “membuat” sejarah versi baru demi kepentingan politik bangsanya. Kalau di negeri kita jangankan mengagungkan sejarah atau membuat sejarah baru, malah melupakan sejarahnya. Bukankah tidak adanya olimpiade sejarah sama dengan proses pelupaan sejarah pada generasi bangsa?
Sekali lagi tidak ada bangsa yang besar dengan melupakan sejarahnya. Tidak ada agama yang hebat dengan melupakan masa lalu para nabinya. Tidak ada anak yang sukses dengan melupakan masa lalu bersama orangtuanya. Jadi bila sebuah generasi bangsa hanya dilombakan (diakrabkan) dengan fisika, kimia, biologi, matematika, computer, ekonomi, geosain, geografi dan astronomi sama dengan mencetak generasi cerdas tanpa identitas.
Generasi cerdas, hebat dan berprestasi tetapi melupakan ibu pertiwi, tanah air Indonesia, nasionalisme dan patriotisme yang ada dalam pelajaran sejarah, sangatlah berbahaya. Tidak menutup kemungkinan orang-orang cerdas dan berprestasi seperti, Mayor Jenderal Haji Joko Susilo, Doktor Haji Akil Muchtar, Doktor Haji Andi Malarangeng, Doktor Haji Rudi Rubiandini dan Haji Nazarudin adalah lupa “jeritan” ibu pertiwi.
Jadi orang-orang cerdas, berprestasi dari jenderal sampai profesor karena sering belajar sain dll, tetapi lupa sejarah maka endingnya adalah maling (Malin Kundang) atau koruptor. Generasi koruptor adalah generasi Malin Kundang, generasi yang lupa sejarah, lupa “pesan” ibu pertiwi. Dalam bahasa DR Asep Salahudin, mereka lebih ingat pada perempuan sintal (bahenol) dibanding sejarah perjuangan bangsanya.
Bila orang-orang cerdas, berprestasi tidak memahami pelajaran sejarah maka bangsa ini tidak lama lagi akan menjadi bangsa tak berkebangsaan. SDM-nya tak berkarakter cinta tanah air (ibu pertiwi), SDA-nya diambil bangsa asing karena “dijual” penguasa yang lupa sejarah. Lupa jutaan nyawa, dan genangan darah yang mempertahankan tanah air sejengkal demi jengkal.
Sejarah itu absolut harus dipahami bangsa kita. Bangsa Belanda dan Jepang dengan jumlah pasukan yang sedikit dibanding jumlah penduduk Nusantara saat zaman kolonialisme berhasi menguasai Indonesia ratusan tahun. Mengapa berhasil? Karena mereka menguasai sejarah bangsa kita. Mereka mempelajari karakter bangsa kita dahulu. Mempelajari kelamahan dan kelebihan bangsa kita dahulu. Kelebihannya dilemahkan, kelemahanya dilebihkan. Robohlah bangsa kita dalam penderitaan kolonialisme.
Siapa yang tidak mengerti sejarah akan dikutuk mengulang kebodohan. Mengulang kebodohan adalah keledai. Jadi bangsa dan pemerintah yang mengabaikan sejarah adalah bangsa manusia keledai. Bangsa keledai selamanya akan mengalami penjajahan, fisik, ekonomi, sosial bahkan budaya karena keledai tak berbudaya. Semoga kita bisa menghargai dan memahami sejarah karena didalamnya ada “rahasia” kehidupan.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Pemerhati Pendidikan
Penulis merasa lebih cerdas dibanding menteri pendidikan dan kebudayaan. Mengapa demikian? Karena penulis melihat dari kompetisi peserta didik yang diadakan dari tahun ke tahun dibawah wewenang menteri pendidikan sejenis olimpiade (OSN, O2SN, FLS2N dll) tidak melibatkan mata pelajaran sejarah untuk jenjang SMA atau sederajat. Ini sebuah kesalahan yang dianggap sederhana tapi fatal dalam pandangan penulis.
Ketika penulis berjabat tangan dengan Menteri Pendidikan M. Nuh di Jakarta pada tahun 2013 dalam acara seminar nasional, penulis menanyakan mengapa olimpiade sejarah tidak diadakan? Ia menjawab, “silahkan di gagas di daerah”. Jawaban yang kurang memuaskan. Penulis yakin menteri pendidikan bukan tidak pintar tetapi mungkin karena “riweuh” dalam mengurus kompleksitas dunia pendidikan Indonesia. Beliau nampaknya lupa skala prioritas.
Ketika OSN diadakan di Bandung tahun 2013 dengan meriah dan melibatkan 3600 peserta didik dari seluruh Indonesia. Kelihatannya memang luar biasa. Namun menurut penulis olimpiade sains yang diadakan tanpa melombakan mata pelajaran sejarah sama dengan membangun masyarakat cerdas tanpa memerlukan identitas. Membangun masyarakat berprestasi tanpa identitas. Ini berbahaya, apalagi diera hedon dan globalisasi sekarang ini.
Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan berkumpul orang-orang berprestasi cerdas dan luar biasa tapi lupa identitas bangsanya. Mereka akan berkumpul di istana negara, gedung DPR, jajaran menteri dan para jenderal. Mereka adalah para mantan pemenang olimpiade. Orang-orang cerdas dan berprestasi akan memiliki karir yang baik, walau tak mengerti sejarah bangsanya, karena tidak ada pengalaman lomba yang memperdalam kesejarahan.
Akan lahir genersai cerdas yang ingatan sainsnya baik tapi amnesia pada sejarah bangsanya. Lupa akan kepedihan perjuangan para pahlawan dalam membangun bangsa ini. Lupa akan pesan founding father tentang “jas merah”. Jangan sekali-kali melupakan sejarah karena melupakan sejarah masa lalu sama dengan melupakan orangtua sendiri. Orang atau bangsa yang melupakan orangtua adalah pribadi dan bangsa Malin Kundang.
Pelajaran sejarah memiliki pesan luhur pada manusia agar Ia benar benar menjadi manusia dengan mempelajari siapa manusia itu sebenarnya. Dalam sejarah mengupas ilmu tentang perilaku manusia. Ilmu sejarah adalah ilmu tentang karakter manusia. Ilmu tentang rahasia manusia, kolektif, kelompok atau personal. “Rahasia” dan identitas manusia ada dalam sejarah manusia itu sendiri.
Kitab suci dan para nabi adalah realitas sejarah. Kitab suci dan para nabi selalu mengajarkan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Manusia adalah mahluk tiga dimensi dan sejarah mengajarkan itu. Bila manusia hanya belajar sains saja tidak menutup kemungkinan akan terlahir mentalitas pragmatis. Masa kini saja, hari ini saja, yang penting berprestasi hari ini tidak peduli pada masa lalu dan masa depan.
Tidak ada peradaban besar dengan melupakan sejarah masa lalunya. Bahkan mengapa bangsa Yahudi begitu kuat walau jumlahnya sangat sedikit. Jawabannya karena mereka mengagungkan sejarahnya dan bila perlu “membuat” sejarah versi baru demi kepentingan politik bangsanya. Kalau di negeri kita jangankan mengagungkan sejarah atau membuat sejarah baru, malah melupakan sejarahnya. Bukankah tidak adanya olimpiade sejarah sama dengan proses pelupaan sejarah pada generasi bangsa?
Sekali lagi tidak ada bangsa yang besar dengan melupakan sejarahnya. Tidak ada agama yang hebat dengan melupakan masa lalu para nabinya. Tidak ada anak yang sukses dengan melupakan masa lalu bersama orangtuanya. Jadi bila sebuah generasi bangsa hanya dilombakan (diakrabkan) dengan fisika, kimia, biologi, matematika, computer, ekonomi, geosain, geografi dan astronomi sama dengan mencetak generasi cerdas tanpa identitas.
Generasi cerdas, hebat dan berprestasi tetapi melupakan ibu pertiwi, tanah air Indonesia, nasionalisme dan patriotisme yang ada dalam pelajaran sejarah, sangatlah berbahaya. Tidak menutup kemungkinan orang-orang cerdas dan berprestasi seperti, Mayor Jenderal Haji Joko Susilo, Doktor Haji Akil Muchtar, Doktor Haji Andi Malarangeng, Doktor Haji Rudi Rubiandini dan Haji Nazarudin adalah lupa “jeritan” ibu pertiwi.
Jadi orang-orang cerdas, berprestasi dari jenderal sampai profesor karena sering belajar sain dll, tetapi lupa sejarah maka endingnya adalah maling (Malin Kundang) atau koruptor. Generasi koruptor adalah generasi Malin Kundang, generasi yang lupa sejarah, lupa “pesan” ibu pertiwi. Dalam bahasa DR Asep Salahudin, mereka lebih ingat pada perempuan sintal (bahenol) dibanding sejarah perjuangan bangsanya.
Bila orang-orang cerdas, berprestasi tidak memahami pelajaran sejarah maka bangsa ini tidak lama lagi akan menjadi bangsa tak berkebangsaan. SDM-nya tak berkarakter cinta tanah air (ibu pertiwi), SDA-nya diambil bangsa asing karena “dijual” penguasa yang lupa sejarah. Lupa jutaan nyawa, dan genangan darah yang mempertahankan tanah air sejengkal demi jengkal.
Sejarah itu absolut harus dipahami bangsa kita. Bangsa Belanda dan Jepang dengan jumlah pasukan yang sedikit dibanding jumlah penduduk Nusantara saat zaman kolonialisme berhasi menguasai Indonesia ratusan tahun. Mengapa berhasil? Karena mereka menguasai sejarah bangsa kita. Mereka mempelajari karakter bangsa kita dahulu. Mempelajari kelamahan dan kelebihan bangsa kita dahulu. Kelebihannya dilemahkan, kelemahanya dilebihkan. Robohlah bangsa kita dalam penderitaan kolonialisme.
Siapa yang tidak mengerti sejarah akan dikutuk mengulang kebodohan. Mengulang kebodohan adalah keledai. Jadi bangsa dan pemerintah yang mengabaikan sejarah adalah bangsa manusia keledai. Bangsa keledai selamanya akan mengalami penjajahan, fisik, ekonomi, sosial bahkan budaya karena keledai tak berbudaya. Semoga kita bisa menghargai dan memahami sejarah karena didalamnya ada “rahasia” kehidupan.
0 comments:
Post a Comment