Apakah Anda Hakim Atau Guru?
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Guru SMAN 1 Kota Sukabumi)
Dunia sekolah adalah dunia ruang kelas. Dunia ruang kelas adalah dunia guru dan siswa. Guru dan siswa adalah sebuah entitas strategis yang menentukan masa depan bangsa. Sekolah, kelas dan dimensi kegiatan belajar antara guru dan siswa harus kondusif dan bermakna.
Di negera-negara maju realitas pendidikan menjadi skala prioritas. Untuk menjadi bangsa yang besar dan maju maka akselerasi dan aksesibilitas dunia pendidikan adalah jawabannya. Akselerasi peradaban sebuah bangsa pemantiknya adalah pendidikan. Setiap bangsa yang maju selalu menyadari pentingnya kesuksesan pendidikan secara makro.
Manajemen pendidikan secara makro sebenarnya hanya dapat ditumbuhkembangkan dengan dukungan proses pendidikan di tingkat mikro (dalam kelas). Ruang kelas menjadi nyawa dari suksesnya sebuah proses pendidikan sebuah bangsa. Ruang kelas menjadi area “ajaib” yang dapat membangun masyarakat sebuah negeri menjadi unggul. Pepatah bijak menyatakan, bila ingin melihat masa depan sebuah bangsa, lihatlah ruang kelasnya. Apa yang sedang terjadi di ruang kelas adalah miniatur masa depan suatu bangsa.
Ruang kelas harus hidup, penuh dinamika, kontektual, bergairah, bermakna dan menyenangkan. Kondisi ini tidak mudah dibangun dan membutuhkan sebuah keahlian yang mumpuni dari seorang guru. Guru yang apa adanya, biasa-biasa saja, tidak gaul dan berhenti belajar akan stag dalam membangun iklim belajar yang baik.
Ruang kelas harus bebas tekanan dan terhindar dari suasana tegang. Ketegangan dan suasan penuh tuntutan diluar kemampuan peserta didik akan melahirkan suasana pembelajaran yang jauh dari joyful learning. Tenaga pendidik yang banyak menuntut bukan menuntun dan banyak menghakimi bukan mengapresiasi akan berdampak buruk terhadap dinamika potensi peserta didik.
Bila kita berprofesi sebagai tenaga pengajar di satuan pendidikan alangkah baiknya setiap selesai melaksanakan tugas merefleksi diri. Mengevaluasi keberadaan diri dihadapan peserta didik pada saat proses pembelajaran berlangsung. Tidak usah terlalu jauh kita berpikir apakah kita menjadi guru yang profesional atau tidak? Cukup dengan sebuah kegelisahan dengan menanyakan pada diri sendiri. Apakah saya tadi menginspirasi atau menghakimi peserta didik?
Guru yang banyak menuntut, menghakimi peserta didik akan melahirkan suasana belajar yang menegangkan. Guru bukan seorang jaksa, bukan pula seorang hakim. Peserta didik bukanlah terdakwa yang bersalah karena kebodohannya. Bila peserta didik diperlakukan sebagai objek penerima pengetahuan yang harus sempurna dan terhindar dari kekurangan maka transper pengetahuan akan melahirkan iklim memaksa dan menghakimi.
Menurut Prof Rheinald Kasali di Indonesia masih terdapat pola pendidikan yang menghakimi dan menghukumi. Menurutnya pola pendidikan seperti ini akan melemahkan potensi peserta didik. Dalam tulisannya Ia menyatakan, kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman.
Guru yang memperlakukan siswa harus selalu bisa, harus selalu selesai mengerjakan tugas, harus selalu sesuai tuntutan kurikulum dan menuntut keras agar siswa sesegera mungkin menyelesaikan tugas mata pelajarannya, berarti guru tersebut berwajah seorang hakim. Dinegara yang maju guru dan pemerintah menjadi pemanja peserta didik, bukan menghakimi.
Barack Obama menyatakan Amerika masih menjadi negeri yang terbesar di muka bumi, bukan karena kehebatan militer dan ekonominya melainkan karena setiap anak dapat memperoleh sesuatu sesuai dengan yang mereka inginkan. Ini sebuah pernyataan yang menggambarkan perlakuan humanis demokratis terhadap peserta didik.
Realitas yang mengantarkan peserta didik pada puncak potensinya akan lebih baik dibanding dengan menghakimi peserta didik dengan berbagai tuntutan pelajaran yang membebani bukan mengasyikan.
0 comments:
Post a Comment